Santo Bonifasius, Uskup dan Martir

Sunday, June 28, 2015


Bonifasius berasal dari sebuah keluarga Angolsakson. Ia lahir pada tahun 680 di Crediton, Inggris, dari pasangan orang-tua yang Katolik. Namanya sejak kecil ialah Winfried. Pertemuan dengan para misionaris sudah dialaminya sejak masa kecilnya. Para misionaris ini biasanya singgah di rumah mereka dan bercerita banyak tentang pengalaman mereka di seberang Laut Utara. Cerita-cerita para misionaris ini membangkitkan dalam hati Bonifasius keinginan untuk mengikuti jejak mereka. Ketika meningkat dewasa, Bonifasius masuk biara di Nursling. Di biara ini, ia dididik dan dilatih untuk menjadi seorang rasul yang tangguh. Akhirnya ia berhasil ditabhiskan menjadi imam dan diutus ke Frisia. Tetapi karena bangsa Frank yang telah banyak menjadi Kristen adalah musuh orang Frisia, maka penyebaran Injil disini dilarang. Oleh karena itu, Winfried kemudian pergi ke Roma. Oleh Paus Gregorius II ( 715-731), ia diterima dengan baik dan diberi nama baru Bonifasius yang berarti “yang mujur”. Dari Roma Bonifasius diutus ketengah-tengah bangsa Jerman. Tugas perutusan yang berat dan berbahaya ini dijalankannya dengan setia. Di Jerman, Bonifasius pertama-tama pergi ke Hesse, kemudian ke Thuringia, Bavaria dan akhirnya ke Frisia. Para sahabatnya di Inggris mendukungnya dengan doa-doa, keperluan-keperluan altar dan gereja.
Atas permintaan Paus Gregorius II, ia sekali lagi pergi ke Roma pada tahun 722, dan disana ia ditabhiskan menjadi Uskup. Setelah itu, Bonifasius kembali ke Jerman sebagai utusan Sri Paus untuk melayani gereja disana. Ia mendirikan banyak gereja dan biara serta mengadakan pembaharuan hidup rohani umat dan para imamnya. Banyak misionaris baru, imam maupun suster, didatangkan dari Inggris. Dari antara misionaris-misionaris ini,terkenallah suster-suster: Tekla, Walburga dan Lioba serta dua orang imam yang kemudian menjadi orang kudus: Santo Lulus dan Santo Eobanus.
Untuk tetap memelihara hidup rohaninya, Bonifasius mempergunakan beberapa minggu dalam setahun untuk beristirahat dan berdoa di kota Fulda. Kota Fulda ketika itu menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Dengan cara ini, Bonifasius berkembang menjadi seorang uskup yang saleh dan suci. Pada usianya yang lanjut itu, ia sekali lagi pergi ke Frisia bersama beberapa imam untuk menerimakan Sakramen Krisma. Tetapi di daerah Dokum, Bonifasius bersama imam-imam itu diserang segerombolan orang-orang kafir. Para imam yang bersamanya dan orang-orang serani di tempat itu bertekad melawan serang itu. Melihat hal itu Bonifasius berkata: “Anak-anakku! Janganlah berperang! Hari yang sudah lama kutunggu dengan penuh kerinduan akhirnya tiba juga. Biarlah Tuhan berperang melawan mereka.” Bonifasius dengan para imam yang menyertainya dalam perjalanan itu dibunuh karena imannya, bersama-sama 53 orang serani. Peristiwa ini terjadi pada tahun 754. Kemudian jenazahnya dibawa ke Fulda. Bonifasius dikenal sebagai perintih pewartaan Injil di Jerman dan dihormati sebagai pelindung negeri Jerman. 
Santo Ferdinandus Constante, Martir

Ferdinandus dijuluki ‘Pangeran Tabah’ (=El Pricipe Constante) ia ditangkap oleh tentara Maroko ketika bersama saudaranya, Henrikus Navigator, berperang di Ceuta. Ia menjadi sandera dan karena tak mampu membayar uang tebusan, Ferdinandus tidak dibebaskan. Lalu ia disiksa dengan keji sampai mati pada tahun 1443.

12 Tingkat Kesombongan


Salah satu khotbah beliau yang terkenal adalah tentang kerendahan hati dan 12 tingkat kesombongan yang menurut St Bernardus merupakan jerat Iblis bagi mereka yang ingin menumbuhkan kerendahan hatinya.
Kesombongan merupakan kelemahan pertama dari tujuh kelemahan lainnya (Bongkibul gelimama: sombong, kikir, cabul, gelojoh/rakus, iri hati, malas dan mudah marah) yang disampaikan dalam Retret Kelemahan Batin di Carmel Cikanyere.
Santo Bernardus selalu berkhotbah dengan menggunakan kelemahan para rahibnya sebagai contoh. 
Dua Belas Tangga Kesombongan menurut St. Bernardus
1.Tangga Pertama Kesombongan: Keingintahuan yang Berlebihan
2.Tangga Kedua Kesombongan: Kesembronoan pikiran dan Sikap
3.Tangga Ketiga Kesombongan: Kesukaan Bersenang-senang
4.Tangga Keempat Kesombongan: Kesukaan Membual
5.Tangga Kelima Kesombongan: Kesukaan Nganehi
6.Tangga Keenam Kesombongan: Kesukaan Menerima Sanjungan
7.Tangga Ketujuh Kesombongan: Presumsi (Kesukaan Menonjolkan Diri)
8.Tangga Kedelapan Kesombongan: Pembelaan atau Pembenaran Diri
9.Tangga Kesembilan Kesombongan: Pengakuan yang Tidak Jujur
10.Tangga Kesepuluh Kesombongan: Pemberontakan
11.Tangga Kesebelas Kesombongan: Berbuat Dosa Dengan Bebas
12.Tangga Keduabelas Kesombongan: Kebiasaan Untuk Berbuat Dosa


Semoga bermanfaat :)

Santo Gregorius Barbarigo, Uskup dan Pengaku Iman


Gregorius Barbarigo lahir pada tahun 1625 dari sebuah keluarga bangsawan di Venesia, Italia. Banyak kaum kerabatnya berjasa bagi Gereja dan tanah airnya. Semasa kecilnya, keluarganya mengungsi ke tempat lain untuk menghindari bahaya wabah pes yang berkecamuk pada waktu itu. Ibunya meninggal dunia ketika ia berusia tujuh tahun. Sepeninggal ibunya di pengungsian itu, Gregorius bersama ayah dan saudara-saudaranya kembali lagi ke Venesia. Di Venesia, ia memulai pendidikan dasarnya. 
Tatkala berusia 18 tahun (1648), Gregorius melanjutkan studinya ke Jerman atas biaya pemerintah Venesia. Ia berada disana selama 5 tahun. Setelah menyelesaikan studinya, ia kembali ke Venesia dan mulai meniti kariernya. Selama berada di Jerman, Gregorius bertemu dan berkenalan dengan Kardinal Fabius Chigius, yang kemudian menjadi Paus Aleksander VII ( 1655-1667 ). Kardinal ini mengenal baik Gregorius sebagai anak asuhnya. Atas pengaruh kardinal, Gregorius kemudian melanjutkan studi lagi hingga ditabhiskan menjadi imam pada umur 30 tahun. 
Sebagai imam baru, ia ditempatkan di Roma. Ia melayani Sakramen-sakramen, mengajar agama untuk anak-anak, mengunjungi orang-orang sakit serta menolong dan menghibur orang-orang yang berkesusahan. Kecintaannya kepada umatnya sungguh luar biasa. Hal ini nyata-nyata ditunjukkan tatkala penyakit sampar menimpa banyak orang. Ia menolong dan merawat orang-orang sakit itu tanpa mempedulikan kesehatan dan hidupnya sendiri. 
Pada tahun 1657, dalam usia 32 tahun, ia diangkat menjadi uskup di Bergamo. Mulanya ia segan menerima jabatan mulia ini, sehingga dengan rendah hati ia meminta Sri Paus untuk membatalkan kembali penunjukkan ini. Tetapi atas peneguhan Sri Paus, Gregorius menerima juga jabatan Uskup ini. Tak lama kemudian, pada tahun 1660, ia diangkat menjadi Kardinal. Empat tahun kemudian, ia diangkat sebagai uskup di Padua hingga ia meninggal dunia. 
Sebagai Uskup, ia memilih Santo Carolus Borromeus sebagai tokoh pujaannya. Ia mengunjungi semua paroki untuk meneguhkan umat dan iman-imannya. Untuk meningkatkan semangat iman dan mutu hidup iman umatnya, terlebih dahulu ia membina imam-imamnya. Ia selalu menegaskan pentingnya menghayati imamat sebaik-baiknya. Katanya: “Untuk memperoleh umat yang saleh dan dewasa imannya, perlulah pertama-tama membina imam-imam yang saleh dan suci.” Untuk itu, ia menaruh perhatian istimewa pada pendidikan di seminari-seminari sebagai taman pendidikan imam. 
Karena tenaga rohaniwan sangat kurang, maka ia melibatkan juga kaum awam dan guru-guru Katolik untuk mengajar agama, baik di sekolah-sekolah maupun di antara umat. Di seminari ia mewajibkan pelajaran bahasa-bahasa Timur, supaya kelak dapat memperoleh imam-imam yang cakap untuk berkarya di Konstantinopel (Istambul). 
Sebagai kardinal, beliau biasanya mengikuti konklaf. Dua kali menolak menjadi Paus, meskipun rekan-rekannya mendesak untuk menduduki Tahkta Santo Petrus. Ia meninggal dunia pada tanggal 15 Juni. Pada tanggal 26 Mei 1960, ia digelari “Santo” (Kudus) oleh Sri Paus Yohanes XXIII (1958-1963).

Peringatan Santo Leontius, Hipatios dan Teodulus, Martir

Santo Leontius, Hipatios dan Teodulus, ketiga martir abad kedua ini adalah anggota pasukan khusus kekaisaran. Leontius yang berpangkat perwira, dibunuh karena mengkristenkan dua tentaranya, yaitu Hipatios dan Teodulus. Hipatios dan Teodulus pun dibunuh bersama Leontius di Tripolis. Peringatan ini diperingati setiap tanggal 18 Juni.

How To Be A Blessing Magnet, Sebuah kisah dari Maricel Apatan




Ini merupakan sebuah kisah dari seorang wanita muda yang melewati api yang sangat luar biasa. Ketika Anda membaca kisahnya, Anda akan menyadari bahwa pergumulan Anda tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah dilewati wanita muda ini.
Itu terjadi di tanggal 25 September 2000. Maricel Apatan berumur 11 tahun dan tinggal di Zamboanga.Suatu hari, gadis kecil ini pergi bersama pamannya mengambil air. Ketika mereka sedang berjalan, tiba-tiba ada empat pria yang memberhentikan mereka. Keempat pria tersebut membawa golok panjang. Mereka menyuruh pamannya untuk menelungkup di tanah. Dan mereka memenggal kepalanya dan membunuhnya.
Maricel sangat kaget. Terutama karena orang-orang ini adalah tetangga mereka. Dia mencoba lari, tetapi mereka mengejarnya. Dia menangis,”Jangan bunuh aku! Kasihanilah aku!”
Tetapi mereka tidak peduli dengan permintaannya. Dengan golok panjangnya, seorang pria menyabet lehernya juga.Maricel jatuh ke tanah dan pingsan.
Ketika dia tersadar, dia melihat ada begitu banyak darah di sekitarnya. Dia juga melihat beberapa kaki pria di sekitarnya, jadi dia berpura-pura mati.Ketika orang-orang itu pergi, Maricel berlari pulang.
Di sepanjang jalan, dia juga melihat kedua telapak tangannya putus. Karena para pria itu juga memotong telapak tangannya. Dia menangis tapi tetap berlari. Kadang-kadang, dia pingsan dan jatuh ke tanah. Namun ketika sadar, dia berlari lagi.
Ketika sudah dekat rumahnya, Maricel memanggil mamanya. Melihat Maricel, mamanya menjerit histeris. Dia membungkus badan anaknya yang berdarah dengan selimut dan membawanya ke rumah sakit.
Ini masalahnya: dari rumah mereka ke jalan raya, jaraknya 12 kilometer berjalan kaki.
Mereka membutuhkan empat jam untuk mencapai jalan raya. Ketika mereka sampai di rumah sakit, para dokter berpikir kalau Maricel pasti mati.
Selama lima jam, mereka mengoperasinya. Ada 25 jahitan di leher dan di punggung. Maricel akhirnya selamat.Tetapi dia kehilangan kedua telapak tangannya.
Ironisnya, hari berikutnya adalah hari ulang tahunnya.
Dia akan berusia 12 tahun.
Tetapi, tragedi itu tidak berhenti di situ. Ketika mereka sampai di rumah, mereka menemukan rumah mereka sudah tidak ada lagi. Rumah mereka dirampok dan dibakar. Karena mereka sangat miskin, keluarga Maricel tidak punya uang P 50,000 untuk membayar tagihan rumah sakit. Namun Tuhan mengirimkan banyak malaikat untuk menolong mereka. Uskup Antonio Ledesma, keluarga jauh mereka, membayar seluruh biaya rumah sakit dan membawa para penjahat itu ke pengadilan. Tahanang Walang Hagdan membantu Maricel dengan membiayai sekolahnya.
Tetapi ada hal lain yang saya percaya adalah mukjizat yang sangat luar biasa.
Daripada meratapi nasibnya, Maricel terus berlari. Daripada menyalahkan Tuhan karena kehilangan kedua telapak tangannya. Dia sekarang menggunakan pergelangan tangannya dalam cara yang luar biasa. Maricel dikenal sebagai seorang pekerja keras, dan murid terbaik di sekolah anak-anak cacat. Tahun 2008, dia lulus dari kursus Perhotelan dan Manajemen Restoran.
Hari ini, Maricel bekerja di sebuah hotel bintang lima. Ya, tetap tanpa kedua telapak tangannya.Tidak ada apapun yang mampu menghentikan wanita muda ini menggapai impiannya.
Saya mengundang Maricel ke Feast. Kegembiraannya, senyumannya, pesonanya sungguh luar biasa! Dengan mengunakan seragam Chef putih, saya memintanya untuk bangkit berdiri. Kami semua bertepuk tangan dengan riuhnya. Dan kemudian saya menuntunnya ke meja yang penuh dengan sayur-sayuran di atasnya. Saya memintanya membuatkan salad untuk saya.Dengan menggunakan pergelangan tangannya, dia memotong dan membuat salad yang sangat lezat.Saya tidak tahan untuk tidak menangis.
Saya melihat ke sekeliling saya dan hanya sedikit dari mereka yang hadir yang matanya kering.
Dikutip dari buku "How To Be A Blessing Magnet" - Bo Sanchez.
 

Bingung ?? Cari disini aja . . .

Kalender Liturgi

Popular Posts

Contributors

Powered by Blogger.